Subuh, 20 November 1979, 1 Muharam 1400. Waktu menunjukkan pukul 5:18
pagi di Masjid al-Haram. Sholat subuh baru saja selesai. Di muka 50.000
jamaah,
Sheikh Mohammed al-Subayil, menutup doa dengan harapan
akan kedamaian, tiba-tiba senjata menyalak. Gelegar suara letusan
menggema di seluruh ruangan masjid. Para jamaah panik menyaksikan
seorang pemuda menggenggam senjata, melangkah menuju Ka’bah. Sementara
yang lainnya menembaki merpati yang biasa bergerombol di atas bangunan
di luar Masjid al-Haram. Dua orang polisi masjid ditembak mati dekat
tembok.
Di tengah keributan dan kepanikan, pemimpin pemberontak,
Juhayman ibn Muhammad ibn Saif al-Otaibi muncul
diapit oleh tiga militan bersenjata. Dia adalah seorang khatib Badui
berusia 43 tahun, dengan mata hitam, rambut sebahu, dan janggut hitam
berombak. Memakai jubah tradisional Saudi berwarna putih yang dipotong
pendek di pertengahan kaki, sebagai simbol penolakan terhadap kekayaan
materi.
Juhayman berjalan maju mendekati Ka’bah, mendorong sang ulama,
mengancamnya dengan senjata, merebut mikrofon dan mengumumkan, bahwa
Imam Mahdi telah datang, sekarang menduduki Masjid al-Haram. Imam Mahdi
itu bernama
Muhammad Abdullah bin al-Qahtani.
Dengan mengangkat sandal dan sepatu, ribuan orang berlarian ke arah tembok pagar. Jamaah menyerukan
Allahu Akbar. Namun pemberontak juga menyerukan
Allahu Akbar,
sambil menghalangi semua jalan keluar. Situasi saat itu sangat riuh dan
penuh kepanikan. Tatkala suara gemuruh menyurut, Juhayman meneriakkan
seruan militer kepada anak buahnya. Kontan, anak buahnya yang sudah
terlatih membelah kerumunan, memasang senapan mesin di puncak tujuh
menara tempat suci itu. Jemaah yang tertangkap dipaksa membantu dengan
todongan pistol. Proses pengambil alihan tempat tersuci umat Islam itu
berlangsung cepat dan sempurna. Penembak jitu bersiaga di menara. Jumlah
para pemberontak diperkirakan sekitar 500 orang. Perintah menembak
diberikan oleh Juhayman kepada para sniper.
Sementara itu pengeras suara masjid digunakan untuk mengumumkan pesan
para pemberontak ke kota Mekkah, bahwa ramalan telah terpenuhi, Imam
Mahdi telah datang, sesekali diselingi suara tembakan.
Saat itu, masjid sedang dalam renovasi yang dikerjakan oleh kontraktor
Binladin Group. Seorang karyawan perusahaan tersebut berhasil menelepon
ke kantornya sebelum pemberontak memutuskan jaringan telepon.
Representatif dari Binladin group lah yang kemudian menginformasikannya
pada Raja Khalid.
Segera setelah serangan tersebut, kira-kira seratus petugas keamanan
mencoba mengambil alih masjid, namun mereka harus mundur karena sniper
menembaki mereka. Sore harinya, seluruh Mekkah dievakuasi. Berbekal
persetujuan para ulama, angkatan bersenjata Saudi meluncurkan serangan
ke tiga gerbang mesjid. Namun mereka tidak dapat mendekat, karena sniper
yang ditempatkan oleh pemberontak terus menembaki.
Unit komando tentara Pakistan (SSG), tiga unit komando Groupe
d’Intervention de la Gendarmerie Nationale (GIGN) dari Perancis, pasukan
Amerika dan CIA diperbantukan untuk melawan pemberontak atas permintaan
pemerintah Arab Saudi. Karena area ini adalah area terlarang bagi non
muslim, maka dengan segera pasukan masuk Islam terlebih dahulu melalui
proses keagamaan yang sah. Mereka membombardir masjid. Pertikaian
berlangsung selama dua minggu hingga akhirnya pemberontak menyerah.
Pemboman Masjid al-Haram. Sumber: global-security-news.com
Sebanyak 255 jemaah haji , pemberontak dan tentara tewas, 560 luka-luka. Di antara yang tewas terdapat
Muhammad Abdullah bin al-Qahtani,
sang imam mahdi palsu. Sekalipun para diplomat menyebutkan, kemungkinan
korban yang jatuh lebih banyak dari itu. Dari sisi tentara Saudi
Arabia, sebanyak 127 tewas dan 451 orang luka.
Pada tanggal 9 Januari 1980, 63 pemberontak dipancung di 8 kota termasuk
Mekkah. Diantara mereka, 41 warga Saudi, 10 warga Mesir, 7 warga Yaman,
3 warga Kuwait, 1 warga Irak, dan 1 warga Sudan, 2 warga Amerika, warga
Jordan dan warga Somalia. Di antara mereka terdapat
Juhayman al-Otaibi.
Investigasi pasca serangan ini, diketahui bahwa serangan ini berhubungan
dengan kelompok Takfir Wal Hijra atau disebut juga kelompok Jama’at
al-Muslimin di Mesir.
.
Siapakah Juhayman ibn Muhammad ibn Saif al-Otaibi?
Gambar: Wikipedia
Serangan ini dipimpin oleh
Juhayman ibn Muhammad ibn Saif al-Otaibi.
Dia tinggal di Hara Syarqiya dekat Madina. Seorang khatib berusia 43
tahun saat penyerangan terjadi. Ayah Juhayman adalah seorang anggota
ikhwan dari keluarga Badui Najd. Pada jaman dahulu, kaum Badui Najd
dikenal ahli dalam berperang untuk kerajaan, dengan kebiasaannya
menyembelih perut ibu-ibu hamil serta membuang janinnya di atas
mayat-mayat.
Juhayman adalah mantan anggota Saudi National Guard yang selama 18 tahun karirnya tetap berpangkat kopral. Murid
Sheikh Abdel Aziz al Baaz
seorang ulama terkemuka Saudi Arabia yang mengajarkan bahwa merokok
adalah dosa, menolak TV, melarang pemasangan protret Raja di dinding,
melarang toko pemangkas rambut, dan melarang bertepuk tangan karena
menyerupai perilaku orang barat.
Juhayman sendiri menyebarkan ajakan untuk kembali ke jalan Islam yang
murni, mengajarkan kebencian terhadap kafir, kaum Syiah dan pemasangan
potret Raja di dinding, menolak Barat, pengusiran non muslim,
menghentikan pendidikan bagi perempuan, serta penghapusan televisi yang
menyebabkan anak muda Arab lebih menyukai gaya Steve Austin dalam film
Six Million Dollar Man daripada mendedikasikan hidupnya pada Islam.
Juhayman mengharamkan Kesultanan Arab, karena menurut kitab suci,
pemimpin harus memiliki 3 syarat: seorang muslim, suku al-Quraisy (suku
yang melahirkan nabi Muhammad), dan menerapkan ajaran agama. Serta
mengklaim, bahwa kekuasaan keluarga Al Saud telah kehilangan
legitimasinya, karena korupsi, hidup mewah dan menghancurkan budaya
Saudi dengan memasukkan budaya Barat.
Juhayman menulis buku berjudul “Tujuh Risalah”, setebal 170 halaman.
Melalui buku itu, pemikiran Juhayman berkembang di Mesir. Kebangkitan
agama ditandai dengan menumbuhkan jenggot, mengenakan jilbab, pemisahan
tegas antara pria dan wanita, larangan pertunjukan seni dan larangan
budaya sekuler.
Melalui mimpi, Juhayman percaya bahwa
Muhammad Abdullah bin al-Qahtani, saudara iparnya, adalah Imam Mahdi yang dinantikan.